• freepik
    blog

    Beat The Bullies: The Bullies, Bullied and Bystanders

    Public Message & Cyberbullying Awareness

    Artikel-artikel di Beat the Bullies series ini tidak hanya sebagai ‘PUBLIC MESSAGE’ ke gerombolan @joMinangg, tapi juga dalam rangka untuk meningkatkan Cyberbullying Awareness di masyarakat kita.

    Di Singapura, angka Cyberbullying juga meningkat karena society yang sangat terikat dengan gadget dan internet. Namun, kasus Cyberbullying di Singapura lebih banyak terjadi pada remaja di bawah 18 tahun, yang status mereka masih lemah di mata hukum karena dianggap belum dewasa.

    Yang membuat saya mengalami reverse culture shock, ternyata di Indonesia, pelaku cyberbullying juga banyak orang dewasa bahkan bisa dikatakan sudah memasuki setengah abad. Di atas 50 tahun. Wadduh!!

  • medals
    Asia,  blog,  India,  Iran,  Singapore,  Travel

    2018 in Review – Reflection

    Hello 2018

    When I typed the title of this entry, I first typed 2008 in Review. I then gasped, no, It’s 2018, my dear! Not 2008. How could my life feel like just stuck in 2008 – I kept typing 2008 instead of 2018 in Review.

    It was a decade ago, but some or maybe many things in 2008 are special, and I feel like being trapped in that year or when Rahma was reborn. I have to move on and get used to the fact is, a decade had passed. Move on, welcome to 2019. One year to go to the 2020s. 

    2018 was like riding a roller coaster, it has its ups and downs. Living with the duality of happiness and sorrow, positive and negative energy, constantly come and go.

    As a child, we’d become so excited when grown-ups asked us, “What do you want to be when you grow up?”. We would reply: “When I grow up, I want to be an Astronaut or Doctor”. Life seems to be so easy when we’re still little girls or boys. We learn that children are very positive and dream big without fear of failure because they don’t recognize what failure is. As a child, we love to question everything and try something new.

    A few decades later after we need to work hard to pay our bills, and broke, or need to pay unexpected bills, we then say: “When I grow up, I don’t want to grow up!!

  • Asia,  blog,  Europe,  Indonesia,  Padang,  the Netherlands,  Travel

    The Explorer

    The Story Begins

    I’ve been traveling before I realized I was traveling, that is when I was 2 months old. I was born in the capital of Indonesia, Jakarta. However, I am originally from West Sumatra, – located on the western part of Sumatra Island, almost 2 hours by plane from Jakarta, or 30 hours by bus or car across the fifth biggest island in the world named Sumatra, then take a 2-hour ferry to land on Java Island, it’s not finished yet. Still, there’s around 3 3-hour road trip to reach Jakarta city.

    After 2 months of giving birth, my mom brought me back to West Sumatra by plane. It was my first flight experience, and I only heard my mom’s story, of course, I can’t remember anything from my first flight since I was still a newborn baby.

  • blog,  Essay

    Empat

    Description

    Satu hari sebelumnya, aku bermimpi.

    Aku terbaring tanpa tenaga di ruangan kecil, empat sisi dinding polos yang minim cahaya, pengap dan sempit. Dalam kegelapan tak jelas apa warna cat dinding, selain tempat tidur beroda yang aku tempati, ruangan ini kosong tanpa perabotan. Hanya ada seorang perawat berambut hitam sebahu, berdiri membelakangi ku. 

    Euthanasia. 

    Alasan aku berada di ruangan itu, bersama seorang perawat misterius yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Aku tak bisa mengingat wajahnya. 

    Ini hanyalah mimpiku lusa itu. Aku memimpikan mimpi ini. Mimpi yang aneh. 

    Aku bertanya ke sang perawat, 

    “Kenapa aku??” 

    Tanpa menjawab, perawat berseragam putih itu menyuntikan sesuatu ke dalam kulitku. Aku bertanya lirih ke perawat , 

    “Untuk apa??” 

    Suaranya dingin dan kaku, 

    “Euthanasia, suntikan ini akan mengakhiri hidup mu.” 

    Tanpa bisa berkata apapun, aku hanya terdiam lemah, terbaring di ruangan gelap nan sempit. 

    Kemudian aku bertanya ke sang perawat, 

    “Untuk apa mengakhiri hidupku??” 

    Jawabnya: ” —– — ——— ——— —- ——- —- ——– — ” 

     

    Aku tak bisa mengingat jawaban perawat itu, mungkin karena ini hanya mimpi

    Ia kembali memasukan cairan misterius ke dalam kulitku. Aku tidak merasakan apa-apa. Tentu, ini kan hanya mimpi!! 

    Namun, aku masih hidup. 

    “Suntikanmu tak bisa membunuh ku.” aku tertawa lemah mengejek. 

    Perawat: “Aneh, . cairan ini tidak bekerja” 

    Aku masih lelah tanpa tenaga, sementara ia berusaha menyuntikku, lagi dan lagi.

    Aku masih hidup. 

    Suntikan ketiga. 

    Aku masih hidup. 

    Suntikan keempat. 

    Aku merasakan sesuatu memasuki lapisan kulit menerobos tulang. Aku menjadi lunglai, ..lumpuh. kehilangan tenaga, jantungku berdetak cepat, berpacu. entah demi apa. Sekujur tubuhku terasa basah bermandikan keringat… aku mulai sulit bernapas. 

    Tiba-tiba, sesuatu tercabut dari tubuhku yang terbaring lemah. Aku melihat diriku terkapar sekarat sementara aku yang ini sedang melayang. Jadi, itu tubuhku dan ini rohku, melayang di ruangan gelap yang sempit, meninggalkan tubuh lemahku di pembaringan. 

    Inikah yang dinamakan kematian?? 

    Dan aku terjaga karena hangatnya mentari pagi dari balik tirai kamarku yang penuh pernak-pernik dan jam weker yang sedang berbunyi dengan nyaring entah sejak berapa lama…..

    Sial, aku kesiangan lagi. Telat kelas Fisika, mata pelajaran yang aku benci.

    “Melati!!!” Terdengar nada suara cempreng meneriaki namaku dari kejauhan siang itu saat sekolah baru saja usai. Aku menoleh kebelakang, Tina, sahabatku berlari mengejarku. Napasnya tersengal-sengal sambil bertanya;

    “Sudah siap belom buat ekskursi besok??”

    “Yah, gitu deh Tin. Lo kan tau, gue anaknya spontan dan last minute.”

    “Itu kebanggaan ya buat lo, Mel” Tina menoyorku ”Gak heran sih, mangkanya lo telat mulu tiap pagi…”

    “Ah, hanya kelas Fisika doang. Sengaja… anti fisika “ balasku membela diri.

    Tina menatapku lekat; “Awas lo, besok jangan telat. Gue tunggu di bandara, kita semua harus berkumpul sebelum pukul delapan pagi. Lo mau tiket pesawat lo hangus… ?? atau beli tiket baru ke Singapore?? Kalau lo butuh bantuan, sini.. gue bantuin Packing!!!”

    “Gak perlu repot-repot, nona.. Gue bakal nginap di bandara biar nggak ketinggalan pesawat…” candaku.

    “hahaha… Nggak cihuy ke museum, Science Center tanpa lo… kita kan satu tim, jangan sampe ketinggalan pesawat my dear.“ Tina tersenyum ke arahku, mata orientalnya semakin keliatan nyaris satu garis.

    Pagi itu.

    Aku berjalan tergopoh-gopoh di sepanjang garbarata. Tiada seorang penumpang pun selain diriku, yeah, aku penumpang terakhir yang sedang mengejar pesawat.

    Aku berlari, hatiku mulai lega ketika melihat pintu pesawat yang terbuka masih menyambutku, dan wajah salah seorang pramugari memberi isyarat memintaku untuk berlari lebih cepat. Pintu pesawat yang tadinya tampak kecil, perlahan mulai tampak membesar dan semakin dekat.

    Aku seolah-olah menjelma seperti seorang atlet lari yang sedang berjuang menembus Finish Line. 

    Boarding pass, please” sambut si pramugari. Ah, bukannya kalungan medali yang aku terima karena berhasil mencapai Finish Line dengan irama kardiak yang nyaris terdengar sepenjuru kabin pesawat, malah ditanyain boarding pass. Dengan napas tersengal, aku sodori Boarding Pass. Si pramugari senyum terburu-buru.

    Untungnya tempat dudukku dan Tina di bagian depan pesawat, aku tak perlu menerima tatapan tajam seantero penumpang pesawat karena menjadi penumpang terakhir yang namanya sempat dipanggil berulang kali.

    Tina sudah duduk dengan tenang, sambil sesekali menonton video keselamatan dari layar kecil yang menempel dipunggung kursi. Aku tersenyum ketika Tina memutar bola matanya dan berbisik seraya cekikikan, “nginap di bandara masih bisa telat juga??”

    Aku melemparkan ekspresi ‘emang gue pikirin’ ke arah Tina.

    “Tadi wali kelas udah ngabsen kita semua, dan hanya lo yang nggak nongol-nongol. Lo tau kan, ekskursi ini penting buat nilai akhir” ceramah Tina ketika aku sibuk memasang seatbelt. “Iyaaah nenek.. bawel amat sih lo”

    “hahaha, tadi malah ada nenek-nenek yang bikin heboh sekabin”

    “Kenapa??” tanyaku asal-asalan tak begitu tertarik.

    “Nenek itu, orang Singapore yang udah tua banget deh, masih percaya takhayul gitu.”

    “oh ya??? Takhayul gimana??”

    “Ibu-ibu di seberang lo itu seharusnya nggak duduk di sana. Ibu itu anaknya si nenek, dan si nenek sekarang sama cucu balitanya di kursi bagian tengah. Seharusnya, nenek itu yang duduk di sana, dan dia nggak mau, dia mau di pindahin ke kursi di bagian tengah.. cucunya nggak mau terpisah dari ibunya, lalu si nenek minta ke pramugari, dia dan anak cucunya diduduki satu baris di belakang,si Pramugari gak bisa dong main asal nyuruh-nyuruh penumpang lain pindah duduk demi si nenek.

    Ditambah pula… barisan yang kita tempati, angka takhayul bagi budaya Cina. Sebagian penumpang Jakarta – Singapore ini juga kayaknya berwajah oriental semua.” Tina berhenti sesaat dan menarik napas. “Hmm, nggak hanya Cina doang sih, Asia Timur sana… negeri nenek moyang gue..”

    Aku mulai tertarik; “Takhayul apaan sih, Tin ?? “ perasaan aneh mulai menggerogoti.

    “Kita ini kan duduknya di barisan ke empat, menurut budaya Cina… angka empat itu bukan angka biasa, … kalau bule nganggap angka 13 itu angka sial, bagi orang Asia Timur, angka 4 itu angka sial.”

    “Hmmm….. 13, dan 1 ditambah 3 juga empat” ujarku lirih, tak jelas antara bertanya atau menjelaskan.

    Yup, correct. Tapi gue sih nggak percaya takhayul.” suara Tina sangat yakin, dia sangat logis dan realistis.

    “Emang, ada apa dengan angka 4??”tanyaku, diserang rasa ketakutan yang aneh secara tiba-tiba.

    “My dear Melati, dalam bahasa Cina, pelafalan angka 4 itu ‘se’, kalau nggak hati-hati ngucapinnya, artinya the death, atau kematian.”

    Jantungku berdegup kencang. Tina menyadari itu; “are you akay??”

    Oh my goodness, ‘D’ huruf awal dari Death, dalam alfabet Latin, D, err… huruf ke empat….”ujarku perlahan, lututku mulai lemas.

    Seorang pramugari berambut hitam bersanggul membelakangiku sedang mengawasi dan meminta penumpang untuk mematikan segala peralatan elektronik karena pesawat akan tinggal landas.

    Ibarat sebuah puzzle, mimpi anehku lusa itu mulai terjawab.

    Pesawat ?? Perawat??? Hanya beda satu huruf, S dan R, di dalam mimpiku lusa itu, aku mati ditangan perawat. EUTHANASIA.

    Suara pramugari menghentakkan lamunanku, “Fasten your seatbelt, please”.

    “Euthanasia itu suntik mati, dan angka empat menurut budaya Timur berarti kematian..” aku berteori seorang diri, suaraku bergetar dan pelan tapi cukup jelas.

    “Mel… ini bukan kali pertama lo naik pesawat kan?? ” Tina menatapku dengan serius, dan khawatir.

    Aku tertunduk kaku, shock dengan mimpi anehku yang mulai terkuak. Dalam mimpi itu, seorang perawat menyuntik matiku, dan aku mati setelah suntikan keempat. Seorang peRawat mengakhiri hidupku dan aku sekarang berada dalam peSawat, di kursi ke EMPAT.

    Tina menyolek tanganku “Kok tangan lo dingin banget, … muka lo pucat pasi gitu… Are you really okay, Mel…. “

    Aku melirik Tina dengan sedikit terguncang, “Gue benci Fisika, dan pesawat ada karena ilmu Fisika” raut wajah Tina semakin aneh mendengar racauan ku.

    … Keringat mengalir deras di sekujur tubuhku.

    Terdengar suara pilot dari kokpit pesawat, “Flight attendants, prepare for take-off please. Cabin crew, please take your seats for take-off” Detak jantungku berdetak cepat, berpacu dengan kecepatan pesawat saat tinggal landas……………………